Di kamar ini aku dilahirkan
Di balai bambu buah tangan bapakku
Di rumah ini aku dibesarkan
Dibelai mesra lentik jari ibu
Kutipan lirik lagu Iwan Fals sangat sarat makna. Ia adalah seniman yang sangat kuat dengan kritik sosial super keren. Jutaan penggemarnya sangat fanatik, termasuk saya. Salah satu lagunya tentang kritik sosial adalah “Ujung Aspal Pondok Gede”. Siapapun yang mendengar lagu itu akan sangat larut dalam emosi kepedihan. Bercerita secara dalam kisah penggusuran lahan perdesaan untuk kepentingan proyek penguasa modal.
Iwan Fals selalu punya kata-kata pedih untuk protes pada keserakahan para pemilik modal besar. Proyek proyek perumahan, industri, lapangan golf, rumah sakit. Itu semua adalah contoh kepentingan modal yang telah menginvasi kehidupan perdesaan pinggiran kota.
Pemilik uang selalu punya cara untuk terus memperbanyak uangnya agar beranak-pinak dalam berbagai perusahaan. Investasi disebut sebagai salah cara agar ekonomi desa berkembang, agar orang orang bisa beli motor, rumah mentereng, atau bahkan bisa membeli mobil. Investasi dipuja untuk terus ditingkatkan walau seringkali abai pada problem sosial dan lingkungan. Kawasan perumahan baru, industri baru, sering meninggalkan cerita tentang kegetiran warga kampung yang harus pindah, meninggalkan rumah, kawan, sejarah, dan sekaligus kenangan manis yang melekat.
Uang itu serakah, begitu kira-kira protes Iwan Fals. Lagu yang terus relevan sepanjang sejarah manusia. Uang menginvasi kehidupan yang tenang menjadi penuh hiru-pikuk. Menginvasi kepribadian santun menjadi beringas, politisi baik hati menjadi politisi penuh muslihat. Sejak zaman dahulu, bahkan zaman kolonialisme Portugis, Inggris, dan Belanda, pada ratusan tahun lalu. Mereka yang pergi antar benua untuk alasan uang dan kekuasaan.
Uang secara obyektif dan subyektif telah dihargai terlalu banyak. Bahkan apapun dikorbankan untuk mendapatkan uang. Untuk membiakkan uang itu harus investasi, harus berdagang, harus melakukan proyek. Tapi semua proyek, semua transaksi ekonomi selalu ada resikonya.
Invasi ekonomi itu selalu terjadi dari pemodal kuat atau kawasan maju ke pemodal lemah dan pinggiran. Rumus itu menjadi hukum ekonomi kekuasaan yang berlaku dan terjadi setiap zaman. Hingga hari ini, pembangunan infrastuktur, pertukaran ekonomi antar daerah dan antar desa kota terus terjadi.
Di Garut, pernah sangat ramai demo pembukaan jalan yang melintas Gunung Cikuray dari Kecamatan Cilawu menembus ke Kecamatan Banjarwangi. Jalan itu sangat penting karena menjadi jalan tembus yang sangat efektif. Dengan jalan baru itu diperkirakan waktu tempuh berkurang sampai 70%. Diharapkan dengan jalan itu maka koneksitas warga akan jadi makin tinggi, dan ekonomi akan tumbuh dengan cepat.
Pemerintah melihat pembangunan jalan tersebut sebagai program jenius untuk meningkatkan mobilitas ekonomi dan koneksitas wilayah. Di saat yang sama, para aktivis melihat proyek jalan itu merusak habitat, meningkatkan kerusakan lingkungan, meningkatkan eksploitasi lahan, menimbulkan banjir, dan dapat merusak banyak sekali plasma nutfah. Proyek itupun berhenti, dalam pertarungan antara nilai-nilai lingkungan dan nilai-nilai ekonomi.
Hukum ekonomi bekerja dengan uang menjadi panglima. Uang selalu ingin membesar, merangsek ke dunia politik menjadi money politic, merangsek ke dunia proyek menjadi fee proyek. Ia juga bermetamorfosa secara budaya, dulu disebut suap sekarang disebut sebagai uang komitmen, dulu disebut pelicin sekarang disebut uang koordinasi, dulu sebagai money politic sekarang disebut sebagai mahar partai.
Orang tidak lagi bertanya, berapa suapnya? Tapi dia bertanya berapa banyak kewajiban yang harus disetor. Celaka kita, suap adalah kewajiban. Pembahasan itu menggambarkan betapa uang haram sekalipun sudah sedemikian dekat, dan diberi istilah positif, menukar haram menjadi wajib.
Ketika sebuah desa dibuka aksesnya dengan jalan yang makin bagus. Sesungguhnya pada saat yang sama sumber daya mengalir dengan deras ke kota. Hutan perawan segera hancur, kayu-kayu rimba berkelas segera menjadi perkakas perkakas di rumah rumah mewah perkotaan. Lereng lereng hutan tempat penyerapan air ditanami komoditas. Bertani makin tergantung dengan pupuk dari kota, obat obatan dari kota bibit dari kota juga, dan bahkan modal bertaninyapun sebagian dari orang kota.
Desa mengirim kentang, kota mengirim kripik kentang. Desa mengirim gula, kota mengirim permen. Desa mengirim kayu, kota mengirim perkakas. Desa mengirim beras terbaik, kota mengirim jutaan bungkus sampah yang di dalamnya ada makanan bergizi buruk. Lihat di sungai-sungai perdesaan, saat ini yang tertinggal hanya sampahnya, sampah sisa makanan produk kota yang dikonsumsi orang desa.
Bukan hanya tentang sampah produk yang dikirim dari kota, tapi juga sampah budaya, sampah informasi dan sampah-sampah program virtual yang tak dibutuhkan. Dan dengan mudah kita saksikan ibu-ibu desa asyik nonton sinetron murahan, anak-anak sibuk main game sepanjang waktu di era pandemi ini, bapak-bapak sibuk membahas isu negara dengan sumber berita buzzer dan haters.
Produk informasi itu telah merenggut dengan menyakitkan aset warga desa yang paling besar. Aset waktu, aset kebersamaan, dan aset cinta pada lingkungan di mana dia tinggal.
Penulis: Aa Subandoyo
Editor: Ox116
Tautan: Klipaa.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar