KKL Sosped (Sosiologi Pedesaan) Fapet Angkatan 92 yang kita jalani di Bayongbong, Garut, membawa banyak kenangan. Salah satunya tetap melekat dalam ingatan hingga sekarang. Saat itu saya yang ber-NPM 72 berada dalam kelompok yang beranggotakan NPM bernomor 70 sampai 79, dan ditempatkan oleh Pak Ulis (Jurutulis Desa) di rumah salah seorang warga –saya lupa namanya. Seingat saya, kelompok kami dilengkapi oleh seorang jawara Banten bernama Ade Sutarsa.
Hari pertama pada KKL tersebut. Kami bercengkrama, ngobrol-ngobrol ringan dengan pemilik rumah. Tak lama, suara adzan berkumandang. Saya lupa waktu shalat apa tepatnya, tapi yang jelas, karena saya mau shalat dan berlagak alim, maka saya segera permisi pada beliau, pemilik rumah.
“Pa, badé ngiring ‘NEPANGAN’ heula,” kata saya dalam bahasa Sunda. Artinya, kira-kira, “Pak, saya mau ikut MENEMUI dulu.” Tapi naasnya semua yang ada di situ malah sontak kebingungan. Mereka tidak mengerti maksud kata-kata pamitan saya, yang membawa pesan damai penuh nuansa relijius tersebut. Mereka tercenung penuh tanya, termasuk sang pemilik rumah.
“Maksudna naon, Bas?” tanya Ade pada saya. Meski jawara, nada suaranya lembut saja, tapi nampak jelas mewakili semua tatapan mata. Maksudnya apa, begitu arti pertanyaannya.
“Rék solat heula,” jawab saya alakadarnya, dengan raut polos dan bersahaja tentunya. Mau shalat dulu, itu memang maksud pamitan saya.
“Oh...,” Ade dengan senyum bijaknya langsung faham dengan situasi yang terjadi, “badé ngiring NETEPAN heula, kituh!”
Rupanya NEPANGAN memang jauh berbeda artinya dengan NETEPAN. Jadi malu deh….
(kiriman Kang BG nu kasep tea)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar