Saya mengenalnya dengan cukup baik semasa kuliah dulu, meski hingga kini -jujur saja- masih merasa terkejut karena menemukan hal-hal baru mengeni dirinya. Orangnya relatif pendiam, rapi dan sangat bersahaja. Salah satu hal tentangnya, yang melekat kuat dalam ingatan, adalah kebersamaan yang kami lalui di meja makan. Di mana pun itu.
Semisal, suatu waktu di Rumah Makan Munggaran, legenda ‘resto mahasiswa’ yang kini sudah tiada. Waktu itu mungkin selepas kuliah di kampus Jatinangor. Kami makan bareng, bersama beberapa teman lain. Seperti biasa, porsi nasinya selalu mencolok pandangan mata saya. Sebetulnya, volumenya mungkin tidak jauh berbeda dengan yang piring saya, artinya sama jumbonya, tapi bukan itu yang istimewa. Caranya memilih lauk sangatlah unik. Lazimnya, hanya tahu tempe yang dipilihnya, satu atau dua. Mungkin karena paling murah harganya, atau ada alasan lainnya. Setelah itu, piring di tangannya lantas dibanjiri kuah sayur sampai seperti gunung nasi terendam banjir dadakan. Mantap! Murah dan (sangat) mengenyangkan.
Saya berjumpa lagi dengannya belasan tahun kemudian. Pengalaman batin ketika melihatnya makan dan merenungkan hikmahnya, saya ungkapkan padanya. Setengah tertawa, dia hanya berkilah singkat, “Ahahaha, kepekso, Mas! Itu ‘kan cuma karena terpaksa!” Mungkin. Tapi saya tahu, ada ajaran hidup prihatin yang tertanam kuat dari kultur keluargamya. Kesederhanaan, yang melengkapi ketekunan dan pantang menyerahnya. Ajaran sama yang kemudian menjadi modal kesuksesannya sekarang ini. Dia sudah tuntas bersekolah lagi, punya posisi lebih dari 'lumayan' di tempat kerja dan komunitasnya, dan tentunya berkeluarga bahagia.
NB: Serial ‘sosok teman’ ini saya buat sedemikian rupa untuk mengenang keteladanan, tanpa menyebut nama. Saya harap teman-teman angkatan yang berkenan menulis komentar, juga tidak menyebut nama.
profile oxer
Tidak ada komentar:
Posting Komentar