Antara Ada dan Tiada

Ada saatnya, waktu menarik kita ke titik dimana kita berawal. Ditengah aktivitas keseharian yang menjenuhkan, tiba–tiba ada hal yang penuh rahasia dibuka sedikit untuk suatu kejutan hidup.

Hari itu tiba–tiba aku dipanggil pimpinan untuk suatu urusan yang sangat penting. Mataku setengah terbelalak membaca selembar surat perintah pimpinan daerah untuk 'back to jatinangor' selama 6 minggu.

Jatinangor, dan bukan tempat lain yang tercantum di situ. Tertera jelas alamat sebuah pusat pendidikan milik kemendagri yang letaknya hanya ± 2 km di atas kampus kita tercinta. Pusdik tersebut berada di kaki Gunung Manglayang yang sarat kenangan, tepatnya di sekitar hamparan Kiara Payung tempat dulu kita sering berkumpul 'ngariung'.

Senang sekali itu pasti, sekaligus grasak-grusuk hanya persiapan 1 hari menyeleseaikan pekerjaan, demi tugas-tugas yang harus segera didelegasikan selama meninggalkan meja kerja.

Dalam hati aku bersenandung Mars Kebangsaan yang dulu kuteriakkan dengan bangga (dengan kostum susu cap nona dan sepatu kelinci), "Oh... I came to jetinenzer... With the spirit from my friends..."

Udara yang masih sama segarnya terasa merasuki paru-paru ketika melewati 'kebon muncang' menuju asrama. Kulirik dengan syahdu gerbang "KAMPUS UNPAD JATINANGOR" sebelum memasuki gerbang Kiara Payung yang berlogo Tunas Kelapa di kanan kirinya. Hatiku berbisik, "Aku pasti menemuimu... kampusku..."

Tiga puluh lima orang yang berlatar belakang berbeda dari seluruh penjuru negeri bercampur dalam satu system disana. Kami menjalani rutinitas kurikulum, mulai dari FMD (Fisik, Mental dan Disiplin) yang difasilitasi oleh TNI, materi-materi kuliah administrasi Negara, Kebijakan, Manajerial dan pembahasan masalah-masalah aktual yang menjadi santapan harian.

Berbagai watak, karakter dan kultur yang berbeda bercampur. Adaptasi, keceriaan, kekonyolan bahkan konflik bervariasi muncul. Keterpautan usia tak lagi masalah, bahkan kesetaraan menjadi tanpa batas saat berbaur, padahal dari 35 peserta itu dari yang termuda baru 32 tahun, dan yang tertua sudah hampir pensiun, usianya mendekati 56 tahun.

Uji nyali memang sudah kurasakan dari awal, karena dari 35 peserta, cuma aku yang tidur sekamar sendirian, padahal bednya couple. Kerap kulirik bed kosong itu, dan ada saja fikiran aneh yang membuat ngeri sendiri, apalagi hampir setiap malam cuaca disini gerimis dan berkabut. Suara–suara mulai banyak terdengar, apalagi dari lantai atas. Aku hanya berfikir mungkin itu suara pintu balkon dari salah satu kamar di atas yang lupa dikunci.

Sejak awal sudah ingin kutulis kisah mistis asrama dengan kesendirian itu. Sudah lama sekali intuisi menulisku ‘mati suri’. Cuaca hampir setiap hari berangin baik terang, mendung, berkabut, bahkan hujan, mungkin karena komplek pusdiklat tepatnya di bahu Gunung Manglayang yang cukup tinggi.

Cuaca yang dingin menggigit membuat malas keluar kamar bila tak ada kegiatan malam, tapi kadang kami harus turun juga ke bawah untuk sekedar foto copy atau mencari kebutuhan–kebutuhan kecil. Kadang kami mencari makanan bila bosan dengan menu asrama yang itu-itu saja, ataupun sekedar melepas lelah ke 'JATOS', satu-satunya mall yang ada di Jatinangor.

Jalan sekitar Kiara Payung gelap tanpa lampu jalan, sementara di kiri kanan tumbuh ilalang dan kebon muncang yang gelap menyeramkan. Mulailah obrolan beralih ke cerita–cerita menyeramkan dari mulai penampakan yang melintas di depan mobil sampai mesin mobil yang mati tiba–tiba di jalan yang gelap.

Cerita-cerita seram itu seperti biasa tetap diselingi saling komen dengan ungkapan–ungkapan yang konyol dan heboh (disini kebebasan sangat dinikmati oleh seluruh peserta, sebagai pelampiasan di kantor yang rata–rata jaim di depan para staff nya).

Cerita tentang kejadian di asrama segera lebih menarik minat semua orang, dimulai ketika ada yang menyampaikan bahwa Pak Nanang (salah satu kepala bidang lingkungan hidup dari Bekasi) dibangunkan oleh bayang–bayang perempuan cantik berambut panjang di tengah malam.

"Gak apa-apalah kalo memang cantik mah, malah asyik," timpalan konyol mulai bermunculan.

Esok harinya di kelas, kebetulan aku dengan Pak Nanang tergabung dalam satu tim kelompok kerja. Penasaran, dengan maksud investigasi aku bertanya langsung.

"Pak, bener tuh?" aku berbisik agar tak memancing perhatian widyaiswara dan pengamat kelas.

"Bener," katanya sambil mengangguk kalem.

"Emang keliatan wajahnya?" kejarku semakin penasaran.

"Iya, biasa itu mah," jawabnya, konon katanya ia sejak dulu punya kemampuan melihat hal-hal seperti itu

"Gak apalah kalo cantik..., ya Pak", aku menutup pembicaraan itu mem”paste” komen–komen semalam karena wawancara ditutup Pak Nanang dengan ungkapan bahwa wajahnya cantik.

Aku bergabung dengan sebuah kelompok di pojok ruangan. Seorang peserta seasal daerahku, tetapi ia aslinya kelahiran Tanah Karo bermarga Perangin-angin, sedang bercerita. Rupanya ada kawan peserta yang terpaksa tidur sendiri, karena teman sekamarnya izin pulang akibat keluarganya sakit. Konon sang peserta tebirit–birit pindah ke kamar Pak Perangin-angin dengan alasan takut karena barkali–kali melihat bayangan wajah di cermin. Cukup merepotkan menurut dia, karena akhirnya satu bed kecil dipakai tidur berdua, padahal bobot badan mereka rata–rata lebih dari 90 Kg.

"Ah, ada–ada saja tuh si Maradona," katanya, ”Di kamar kami gak ada itu, kubaca doa dan mohon Tuhan kalo sebelum tidur..."

Mulut usilku gak tahan juga ingin menimpali dengan berbekal investigasi dari Pak Nanang.

"Ah Bang, mana mungkin makhluk halus itu datengin Abang, karena selera dia rupanya yang bulat–bulat putih macam Maradona dan Pak Nanang, mungkin di tempat 'dia' gak ada, kalo macam Abang banyaklah!" ucapku disambut GERR yang heboh, sampai-sampai widyaiswara mendekat dan mengecek pekerjaan kami.

Setelah cerita itu, semakin banyak cerita-cerita aneh muncul dari kawan-kawan. Mereka mendapat cerita dari Satpol-PP dan security asrama yang sudah biasa jaga malam, mengenai 'perempuan' yang kata mereka merupakan penghuni tetap lantai 2.

Suatu kali penghuni dua kamar yang bersebelahan saling bertanya karena keduanya mendengar suara orang sedang mandi tengah malam. Awalnya mereka fikir tetangga kamarnya, namun setelah saling ricek, masing-masing menjawab "Mana mungkin mandi tengah malam, sedangkan sore aja gak pernah mandi dengan kondisi air yang sedingin air kulkas itu..." (akhirnya terungkap juga rahasia gak pernah mandi sore selama di asrama)

Menjelang ujian tertulis mulailah kasak-kusuk terjadi dari kisi-kisi soal sampai persiapan contekan didorong harapan dapat 'open book'.

"Kita kan sudah eselon III semua, dan manusia pilihan, berfikir cerdas sikit lah!!" ungkapan dengan logat khas itu muncul dari salah satu kawan peserta asal Nias Selatan, langsung ditimpali suara tertawa yang membahana di loby.

Aku keluar kamar ikut berkumpul di loby sebentar kemudian masuk kamar kembali, maklum belum baca-baca modul sedikit pun. Karena sebentar-sebentar ada saja yang mengetuk kamar menanyakan 'perkembangan kabar ujian', akhirnya pintu kubuka saja sambil baca-baca mengusir rasa kesendirian.

Tiba-tiba datang salah satu peserta dari kamar paling ujung, menghampiri pintu kamar yang terbuka. "Waduh si Ibu ini gandeng (berisik) wae ah, saya sampai gak bias tidur," katanya.

"Lho.. berisik gimana?" tanyaku, "Saya lagi baca-baca sendiri kok di kamar."

"Apa iya? Saya dengar barusan suara Ibu ah, ngobrol kenceng banget ketawa-tawa di koridor, kedengaran sampai kamar saya," jawabnya keheranan. Merinding juga kudukku mendengarnya sambil kami saling menatap heran. Desiran angin yang menguat menyapu koridor, membuat kawanku itu bergidik.

Kututup pintu itu, ada rasa takut kalo-kalo ada yang menyerupai kawan-kawan muncul disitu.

Paginya di ruang makan, Ibu Yanti yang tinggal di sebelah kamarku membicarakan kalau semalam dia juga mendengar suaraku di loby, gabung bersama ibu-ibu dan bapak-bapak peserta lain ketawa-ketiwi. Bahkan dia mendengar langkah dua orang ibu-ibu masuk kamar melewati depan pintu kamarnya, tapi ketika dia tunggu aku kembali menurutnya sampai jam 12 bahkan lewat tengah malam, suara langkah dan pintu kamarku tak juga terdengar. Ia menunggu sampai tertidur.

Tentu saja aku dan kedua ibu peserta yang dimaksudnya berkelit karena memang kami bertiga belajar di kamar masing-masing semalam. Hari itu para peserta diguncang oleh cerita tersebut karena yang mendengar hal yang sama hampir setiap kamar sampai kamar ujung sekalipun.

Seorang panitia tersenyum maklum, bahkan dia mengisahkan peserta-peserta angkatan terdahulu ada yang sering kesurupan. Saya tarik ibu panitia tersebut ke pojok agar tidak meneruskan cerita itu, karena saya tahu kawan-kawan peserta ketakutan dibuatnya...

Tapi kisah-kisah terus berlanjut karena ada saja peserta yang mendengar suara-suara, entah jeritan atau tertawa perempuan, bahkan obrolan-obrolan ramai di tengah malam sunyi...

Nasib tidurku yang sendiri ternyata berlanjut sampai acara observasi lapangan ke Kabupaten Lombok Barat NTB. Ya mau diapain lagi, mempertahankan peserta paling pemberani memang agak berat disini. Meski agak seram di Hotel Berbintang dengan hiasan-hiasan patung dan ornamen etnis dan luasan kamar seperti itu.

Dengan tegar, mengalahkan getaran rasa takut (terpaksa) aku sering punya jurus kelakar bagi mereka, kawan-kawan yang membawa kisah seram itu, ”Kalo takut berdua mau saya pawangin gak?" Bayangin aja, berdua mereka merasa seram begitu apalagi aku yang tidur sendiri.

Dari beberapa kejadian itu aku kembali tergerak menulis kembali, membagi kisah seramku pada para sahabat agar tetap eksis sebagai oxer sejati...


(source:imoel/ed:yzk)

2 komentar:

  1. Mengenang ALMARHUM PAK NANANG tokoh utama dalam kisah di atas semoga Beliau mendapat tempat terbaik di Sisi-Nya...
    (Saya mendapat kabar sms meninggalnya beliau tepat merampungkan kisah ini.. jadi mohon maaf kalo kisah ini seperti gak kelar...karena lanjutan memori tentang beliau malah jadi tambah episodenya...)

    BalasHapus
  2. Tak terbayangkan akan secepat itu kehilangan 1 orang kawan satu angkatan DIKLAT dari 35 orang yang begitu dekat, hanya 2 minggu setelah perpisahan dan pernyataan kelulusan...sms duka itu tersiar...{tangan menggapai HP yg bergetar dlm kondisi SILENT saat dingin subuh mengerjap membaca sms berantai..menyatakan pak NANANG telah tiada. setengah belum pulih bangun dari tidur kulirik laptop yang masih terbuka dengan kisah misteri asrama yang baru selesai kutulis tengah malam tadi}..
    Pak Nanang yang sejak OUT BOND, Kelompok Kerja dan Observasi Lapangan kebetulan selalu bersama sehingga menyisakan gambar yang tak sedikit...
    Hanya Firasat yang disiratkan Maha Pemegang Rahasia Masa Depan yang tak dapat dirasakan kami....yang hanya manusia..mahluk fana terlalu naif memaknainya....(Ketika BUKU KENANGAN selesai dicetak...beliau protes karena TAK ADA SATU PUN fotonya disitu...bahkan di LEMBARAN BIODATA ATAS NAMA dirinya.... Masya Allah...)

    BalasHapus

Kisah Kikeu

Imoel's Notes

Foto Djadoel